Konsep Jual Beli (Murabahah)

Standar

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).HR. Ibnu Majah, al-Hakim dan ad-Daraquthni)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut), maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”. HR al-Bukhari dan Muslim.

A.    DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). al-Qaamus al-Muhith hal. 279.

Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Al-‘Uquud al-Murakkabah hal 257.

Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah (Al-Mughni 4/259.

B.     RUKUN DAN SYARAT SAH JUAL BELI:

Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:

1.      Al- ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan pembeli).

Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).

Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah:

 “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).

Para ulama ahli tafsir mengatakan:“Ujilah mereka supaya kalian mengetahui kepintarannya”, dengan demikian anak-anak yang belum memiliki kecakapan dalam melakukan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya hingga ia baligh. Dan di dalam ayat ini juga Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak bisa mengendalikan harta.

Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan.

Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana ada kondisi tertentu yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta miliknya, seperti bila seseorang memiliki hutang kepada pihak lain dan sengaja tidak mau membayarnya, maka pihak yang berwenang boleh memaksa orang tersebut untuk menjual hartanya, lalu membayarkan hutangnya, bila dia tetap tidak mau menjualnya maka dia boleh melaporkan kepada pihak yang berwenang agar menyelesaikan kasusnya atau memberikan hukuman kepadanya (bisa dengan penjara atau selainnya). Nabi bersabda: “Orang kaya yang sengaja menunda-nunda pembayaran hutangnya telah berbuat zhalim. Maka dia berhak diberikan sanksi.” (HR. Abu Daud)

2.      Al-‘Aqd (transaksi).

Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.

Di dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.

Pendapat kedua: Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali. (Raudhatuthalibin 3/5).

Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. (Kifayatul akhyar hal.283, Al Mumti’ 8/106).

Imam Baijuri –seorang ulama dalam mazhab Syafi’i- berkata, “mengikuti pendapat yang mengatakan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik, agar tidak berdosa orang yang tidak mengucapkannya… malah orang yang mengucapkan lafaz ijab-qabul saat berjual beli akan ditertawakan…” (Hasyiyah Ibnu Qasim 1/507).

Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin lalu barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul. Wallahu a’lam.

3.      Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).

Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi)

Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Mas’ud beliau berkata:

“Sesungguhnya Nabi Saw melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari)

Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:

“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud II/305 no.3503)

Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun belum terjadi serah-terima barang.

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)

Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli, maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”. (HR.Ahmad)

Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual.

Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)

Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan)

C.    Macam-macam Jual Beli

Pertama, Jual Beli Musawamah

Jual beli musawamah, yaitu jual beli dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, tanpa melihat harga kulakan pembeli. Dalam transaksi ini pembeli bebas menawar harga barang yang akan dibelinya. Terjadinya jual beli ini sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Inilah transaksi jual beli yang umumnya dilakukan di masyarakat.

Kedua, Jual Beli Murabahah

Murabahah diambil dari kata: Ribh, yang artinya untung. Secara istilah bai` Murabahah adalah menjual barang dengan harga kulakan ditambah keuntungan yang disepakati antara kedua belah pihak.

Para ulama menegaskan bolehnya transaksi murabahah. Namun ulama mazhab malikiyah berpendapat bahwa jual beli ini kurang afdhal. Yang lebih baik adalah tidak disebutkan harga kulakan dan untungnya.

Ketiga, Jual Beli Tauliyah

Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang artinya memberi wewenang. Secara istilah, jual beli Tauliyah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain dengan harga yang sama dengan harga belinya, dan penjual menyampaikan harga belinya kepada pembeli.

Keempat, Jual Beli Wadhi`ah

Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Secara istilah, wadhi`ah berarti menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari pada harga beli dan pembeli diberi tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan kebalikan dari jual beli murabahah.

Jual beli wadhi`ah  sering juga dinamakan dengan jual beli muhathah, hathitah, mukhasarah, dan muwadha`ah.

Kelima, Jual Beli Mustarsal

Mustarsal artinya dilepas. Sedangkan maksud jual beli mustarsal adalah seseorang penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual barang ini dengan harga pasar atau sebagaimana harga umumnya masyarakat atau dengan harga yang berlaku hari ini atau dengan harga sebagaimana yang akan ditentukan oleh si fulan, dst. Orang yang melakukan transaksi ini tidak mengetahui harga barang dan tidak bisa saling tawar menawar. Para ulama sepakat bahwa jual beli ini sah. Hanya saja mereka berselisih pendapat, apakah pembeli dan penjual memiliki hak khiyar ataukah tidak.

Keenam, jual beli Talji`ah

Secara bahasa talji`ah diambil dari kata: ilja` yang artinya memaksa. Secara istilah, bantuk transaksi talji`ah hanya bisa digambarkan dengan contoh, sebagai berikut:
Dalam sebuah kasus, A mendapat ancaman dari orang lain, bahwa dirinya akan dibunuh. Karena ketakutan, A melarikan diri dan menjual seluruh hartanya kepada B dengan penuh keterpaksaan. Dengan syarat, selama barang ini ada di tangan B maka B tidak boleh menjualnya atau memberikannya kepada orang lain, dan jika A bisa mengembalikan uangnya B (seharga barang yang dia beli) maka B wajib mengembalikan barangnya. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar at-Tsaqafah al-Islamiyah, jilid 3, hal. 101)

Bahkan terkadang jual beli ini dilakukan tanpa harga yang ditetapkan, atau dengan harga yang sangat murah. Karena pada hakekatnya, penjual tidak ingin menjual barangnya. Sebagian ulama menegaskan tidak sahnya jual beli semacam ini. Ibnu Qudamah mengatakan: “Jual beli talji`ah bathil (tidak sah)”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H, jilid 4, hal. 300)

D.    Hukum Khianat dalam Jual Beli

Pada dasarnya jual beli ini dibangun atas prinsip saling percaya dan amanah. Hukum untuk kasus khianat pada jual beli amanah, dikembalikan kepada masing-masing kasus. Artinya hukumnya berbeda-beda sesuai dengan kasusnya.

Pertama, khianat dalam transaksi murabahah dan tauliyah

Bentuk khianat dalam transaksi murabahah atau tauliyah ada dua kemungkinan:

a.      Khianat dalam cara pembayaran.

Misalnya A membeli motor secara kredit seharga 10 jt, kemudian dia memberi tahu B bahwa A membeli motor ini 10 jt, namun tidak kreditnya dia rahasiakan. Jika B mau beli maka harganya 11 jt tunai. Beberapa hari setelah transaksi B baru mengetahui bahwa motor itu kredit. Dalam kasus semacam ini, B memiliki hak untuk memilih berdasarkan kesepakatan ulama. Dia berhak untuk melanjutkan dan menghentikan transaksi. Karena transaksi murabahah dibangun atas prinsip amanah. Pembeli telah menaruh kepercayaan kepada penjual tentang informasi harga yang dia berikan. Sehingga jika syarat amanah dalam jual beli ini tidak terpenuhi maka ada hak khiyar.

b.      Khianat dalam informasi harga

Misalnya A membeli HP seharga 500 rb. Kemudian dia memberi tahu B bahwa dia beli HP tersebut 700 rb. Si B boleh membeli HP ini jika dia membayar 700 rb, dengan harapan agar B beranggapan bahwa A tidak mengambil untung Hpnya. Setelah beberapa hari, B baru sadar bahwa aslinya dia membeli HP tersebut 500 rb bukan 700 rb. Dalam kasus semacam ini, ulama berbeda pendapat dalam hukumnya:

  1. Syafi`iyah, Hambali, dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa pembeli tidak memiliki hak khiyar. Namun dia mengambil jatah karena khianat.
  2. Abu Hanifah mengatakan: bahwa pembeli memiliki hak khiyar. Dia boleh mengambil seluruh uang yang dia bayarkan (membatalkan transaksi). Namun untuk jual beli tauliyah, tidak ada hak khiyar untuk pembeli. Dia boleh mengurangi harga barang sebatas khianatnya dan dia beli dengan harga sisanya.
  3. Muhammad bin Hasan dan pendapat lain dalam mazhab Syafi`iyah, bahwa jika terjadi khianat dalam informasi harga, pembeli memiliki hak khiyar untuk transaksi murabahah maupun tauliyah.

Kedua, khianat dalam transaksi mustarsal

Bentuknya, misalnya sesuai perjanjian untuk dijual sesuai harga pasar, ternyata dia dibohongi dengan harga yang lebih tinggi dari umumnya masyarakat maka pembeli memiliki hak khiyar.

E.     JUAL BELI YANG DIHARAMKAN

Menjual Tanggungan Dengan Tanggungan

Menjual tanggungan dengan tanggungan yakni menjual hutang dengan hutang.
Telah diriwayatkan larangan terhadap menjual tanggungan dengan tanggungan dalam sunnah Nabi yang suci. Dalam hadits Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Melarang menjual tanggungan dengan tanggungan”. Hadits ini sanadnya lemah. Imam Ahmad: “Dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Akan tetapi ijma’ kaum muslimin adalah bahwa menjual hutang dengan hutang tidak boleh.” Sementara Imam ath-Thahawi menyatakan: “Ahlul hadits menafsirkan hadits ini dengan riwayat Abu Musa bin Ubaidah, meskipun mengandung kekurangan dalam sanadnya. Ini merupakan bab besar dalam ilmu fiqih.” Musykilul Atsar II: 266.

Jual Beli dan Syarat

Syariat Islam yang suci telah memerintahkan ditunaikannya janji dengan komitmen yang menjadi persyaratan janji tersebut, kecuali apabila syarat itu berbentuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad kalian..” (Al-Maidah: 1).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, dan al-Baihaqi. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Setiap persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu batil.” Umar bin Khatthab menyatakan, “Denyut hukum itu ada pada persyaratannya..” Diriwayatkan juga larangan terhadap menjual dengan “dua syarat” dari hadits Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi a melarang dua syarat dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Abu Daud. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan beliau menyatakan: Hasan shahih.

Syarat yang bertentangan dengan konsekuensi perjanjian jual beli adalah syarat yang rusak, seperti syarat agar barang yang dijual belikan tidak boleh dijual lagi, tidak boleh dihibahkan dan sejenisnya. Atau syarat yang bertentangan dengan konsekuensi ajaran syariat, seperti yang menggiring kepada perbuatan menghalalkan yang haram, atau menyebabkan harga barang menjadi tidak jelas, atau penggandaan jumlah transaksi, atau persyaratan adanya perjanjian lain seperti penjualan, penyewaan, peminjaman dan lain-lain. Adapun syarat demi kepentingan tertentu, pihak Hanafiyah sendiri mengatakan bahwa persoalan ini masih perlu diselidiki kembali, karena adanya hadits Jabir yang menceritakan bahwa ia pernah menjual untanya kepada Nabi dengan persyaratan tetap mengendarainya hingga sampai ke kota Madinah.

Dua Perjanjian Dalam Satu Transaksi Jual Beli

Membuat dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli merupakan hal yang dilarang dalam syariat. Diriwayatkan adanya sejumlah dalil yang melarang perbuatan tersebut. Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi Hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan dua perjanjian jual beli dalam satu transaksi jual beli, maka hendaknya ia mengambil yang paling sedikit, kalau tidak ia telah mengambil riba.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dari Hadits Ibnu Mas’ud bahwa ia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang adanya dua perjanjian dalam satu transaksi.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidaklah pantas melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi.”
Para ulama berbeda pendapat tentang arti dari dua per-janjian tersebut. Ada beberapa pendapat yang kita lampirkan di bawah ini:

a. Artinya adalah jual beli dengan dua harga, kontan dan kredit dengan harga lebih mahal.

b. Penjualan dengan dua harga, kontan dan kredit, dan harga kredit atau tertundanya lebih mahal, namun tidak dijelaskan.

c. Menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda, kemudian membelinya kembali dengan pembayaran kontan dengan harga lebih murah dari harga pertama. Jual beli ini disebut juga dengan jual beli ‘inah. Termasuk salah satu jenis jual beli yang menjadi fasilitator riba. Karena tujuannya sebenarnya adalah meminjami uang dengan dibayar uang berikut tambahan, sedangkan barang dagangan hanya dijadikan mediator semata untuk melegali-sasikan bunga tersebut.

d. Arti dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli adalah memberikan syarat sebuah perjanjian lain dalam satu transaksi jual beli yang berlangsung. Misalnya si penjual mengatakan, “Saya akan menjual rumah ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat engkau menjual mobilmu kepadaku dengan harga sekian. Tak ada bedanya apakah ditentukan harga dan barang yang dimaksud dalam perjanjian kedua ataupun tidak. Karena kedua bentuk perjanjian itu tergabung dalam satu perjanjian jual beli, dan itu dilarang. Perbuatan itu termasuk dalam larangan umum tentang melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli.

Aplikasi jual beli semacam ini harus dibedakan dengan menjual dua jenis barang dengan satu harga, seperti menjual mobil dan rumah dengan harga satu juta dinar misalnya. Atau menjual satu barang dengan mobil ditambah seribu dolar. Yang demikian itu tidak termasuk melakukan dua perjanjian dalam satu aktivitas jual beli, dan bahkan ini boleh dengan kesepakatan.

e. Memesan barang berjangka dengan serah terima tertunda. Bila telah jatuh tempo, barang itu kembali dijual kepadanya secara berjangka pula dengan harga lebih. Penjualan kedua ini termasuk dalam jual beli pertama. Maka harus dikembalikan kepada yang paling sedikit keuntungannya, yakni penjualan pertama. Jual beli semacam ini dilarang menurut kesepakatan para ulama.

Menjual Barang Yang Masih Dalam Proses Transaksi Dengan Orang Atau Menawar Barang yang Masih Ditawar Orang Lain.

Di antara bentuk jual beli yang dilarang yakni apabila seseorang menjual sesuatu yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain, atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Misalnya: Ada dua orang yang berjual beli dan sepakat pada satu harga tertentu. Lalu datang penjual lain dan menawarkan barangnya kepada pembeli dengan harga lebih murah. Atau menawarkan kepada si pembeli barang lain yang berkualitas lebih baik dengan harga sama atau bahkan lebih murah. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa itu adalah perbuatan dosa bila aplikasinya demikian, karena dapat menyebabkan ketidaksenangan orang lain dan membahayakannya. Selain juga karena ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dari Sunnah Nabi yang shahih.

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Sabda Rasulullah, “Tidak sah menjual sesuatu dalam transaksi orang lain.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Janganlah seseorang melakukan transaksi penjualan dalam transaksi orang lain. Dan janganlah seseorang meminang wanita yang masih dipinang oleh orang lain, kecuali bila mendapatkan izin dari pelaku transaksi atau peminang pertama.”

Sementara dalam riwayat an-Nasai disebutkan, “Janganlah seseorang menjual dalam transaksi orang lain, sehingga ia membelinya atau meninggalkan transaksi tersebut.”
Dengan alasan itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan meng-anggapnya sebagai kemaksiatan.

Menawar Barang yang Sedang Ditawar Orang Lain

Adapun menawar barang yang masih ditawar orang lain, yakni seperti dua pihak yang melakukan transaksi jual beli lalu sama-sama sepakat pada satu harga tertentu, lalu datang pembeli lain yang menawar barang yang menjadi objek transaksi mereka dengan harga lebih mahal, atau dengan harga yang sama, hanya saja karena ia orang yang berkedudukan, maka si penjual lebih cenderung menjual kepada orang itu, karena melihat kedudukan orang kedua tersebut.

Kalau kedua orang itu saling tawar menawar, lalu terlihat indikasi bahwa keduanya tidak bisa menyepakati satu harga, tidak diharamkan untuk menawar barang transaksi mereka. Namun kalau belum kelihatan apakah mereka telah memiliki kesepakatan harga atau tidak, penawaran dari pihak pembeli lain untuk sementara ditahan. Demikian juga menurut kalangan Hambaliyah, perlu dibuktikan terlebih dahulu adanya kesepakatan mereka, agar semua pihak merasa senang. Namun menurut kalangan Hanafiyah, hal itu tidak mengapa. Boleh-boleh saja melakukan penawaran dengan harga lebih sekalipun, karena itu termasuk jual beli yang disebut lelang. Hal itu tidak dilarang.

Dengan terbuktinya keharaman bentuk-bentuk jual beli tersebut di atas, namun menurut para ulama jual beli tersebut tetap sah, karena larangan itu kembali kepada hal di luar pengertian transaksi dan berbagai komitmennya. Karena jual beli tersebut tetap tidak kehilangan satupun dari rukun-rukunnya, atau salah satu dari syarat-syarat sahnya. Larangan itu terhadap hal yang berkaitan dengan transaksi tetapi berada di luar substansi transaksi tersebut dan komitmen-komitmennya. Itu termasuk perbuatan yang mengganggu orang lain, namun tidak membatalkan transaksi menurut mayoritas ulama.

Pelelangan
Dari larangan terhadap penawaran barang yang masih dalam penawaran orang lain, dikecualikan sejenis jual beli yang disebut pelelangan. Pelelangan itu boleh berdasarkan ijma/konsensus kaum muslimin. Pelelangan adalah penawaran barang di tengah keramaian. Lalu para pembeli saling menawar dengan harga tertinggi, sampai kepada batas harga tertinggi yang ditawarkan, lalu terjadilah transaksi, dan si pembeli bisa mengambil barang yang dijual.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli yang disebut pelelangan itu, yaitu:
Hadits Anas bin Malik -rodhiyallahu ‘anhu- yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia meminta sesuatu kepada beliau. Beliau bertanya kepa-danya, “Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menja-wab, “Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Beliau berkata, “Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Rasulullah bertanya, “Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab, “Saya mau membelinya dengan satu dirham.” Beliau bertanya lagi, “Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Beliau menawar-kannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau yang lain berkata, “Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka beliau memberikan kedua benda itu kepada-nya. Beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki dari Anshar tersebut. Beliau berkata, “Gunakanlah yang satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu. Lalu gunakan yang satu dirham lagi untuk membeli kapak, lalu bawa kapak itu ke hadapanku.” Lelaki itu pun pergi dan kembali lagi dengan membawa sebilah kapak. Nabi meng-gunakan kapak itu untuk membelah kayu dengan tangan beliau sendiri, lalu beliau berkata, “Pergi dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan perlihatkan dirimu selama lima belas hari.” Lelaki itupun pergi mencari kayu bakar dan menjualnya. Ia pulang de-ngan membawa hasil sepuluh dirham. Uang itu ia gunakan seba-gian untuk membeli pakaian dan sebagian lain untuk membeli makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada kebiasaanmu meminta-minta itu akan menjadi bercak hitam di wajahmu pada hari Kiamat nanti. Meminta-minta itu hanya dibolehkan bagi tiga orang: orang yang terlilit kemiskinan, orang yang terlilit hutang dan orang yang menanggung diyat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud. an-Nasai. Ahmad dalam Musnadnya. Dan at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan.” Inilah yang menjadi amalan para ulama.

6. Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun

Artinya menurut mayoritas ulama adalah orang kota menjadi calo pedagang orang dusun. Ia mengatakan kepada pedagang dusun itu, “Kamu jangan menjual barang sendiri, saya lebih tahu tentang masalah jual beli ini.” Akhirnya si pedagang bergantung kepadanya, menjual barangnya dan pada akhirnya ia memasarkan barang dengan harga tinggi. Kalau si calo membiarkannya berjual-beli sendiri, pasti ia bisa menjual dengan harga lebih murah kepada orang lain.

Hukum ‘Orang Kota Menjualkan Barang Orang Dusun’

Para ulama sependapat melarang jual beli semacam itu, karena adanya dalil-dalil shahih dan tegas yang melarangnya. Di antara dalil-dalil itu misalnya, Sabda shallallahu ‘alaihi wasallam : “Janganlah orang kota menjualkan komoditi orang dusun. Biarkan manusia itu Allah berikan rizki, dengan saling memberi keun-tungan yang satu kepada yang lain.”
Dalil lain adalah hadits Anas rodhiyallahu ‘anhu: “Kami dilarang untuk melakukan ‘penjualan orang kota bagi orang dusun’, meskipun dia itu saudaranya atau ayahnya sekalipun.” HR. al-Bukhari dan Muslim.

Namun pengharaman ini tidaklah menyebabkan jual beli tersebut batal, menurut mayoritas ulama. Karena keharaman itu tidak kembali kepada perjanjian atau akadnya. Karena tidak ada rukun yang hilang. Juga tidak kembali kepada komitmen perjanjian, karena syarat sahnya jual beli yang hilang. Namun keharaman itu kembali kepada soal lain yang tidak bersifat permanen, seperti mengakibatkan kesulitan atau mengganggu orang lain. Namun kalangan Malikiyah dan Hambaliyah berpendapat bahwa perbuatan itu membatalkan dan merusak perjanjian. Imam Ahmad pernah ditanya tentang jual beli ini. Beliau menjawab, “Saya membenci itu. Saya akan membatalkan jual beli dengan cara itu.” Al-Mughni IV: 280

Di antara hal yang layak diingat adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang pendapat yang menyatakan bahwa jual beli semacam itu adalah sah, bahkan tidak makruh. Beliau memahami hadits-hadits yang melarang jual beli itu bahwa semua hadits tersebut adalah di awal-awal Islam, karena pada waktu itu kehidupan ekonomi mereka amat terjepit.

7. Menjual Anjing

Dalam hadits Ibnu Mas’ud -rodhiyallahu ‘anhu. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang mengambil untung dari menjual anjing, melacur dan menjadi dukun.” HR. al-Bukhari dan Muslim.

Dalam hadits Juhaifah diriwayatkan bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil menjual darah, anjing dan hasil usaha budak wanita..” HR. al-Bukhari

Dengan alasan ini, kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah menganggap tidak sah menjual anjing, anjing apapun juga, meskipun anjing yang sudah dilatih berburu. Sementara kalangan Malikiyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara, seperti anjing buru, dan anjing penjaga, dengan anjing-anjing lain. Kelompok pertama mereka membolehkan untuk dijual, sementara selain itu tidak boleh, karena hadits: “Rasulullah mengharamkan hasil jualan anjing, kecuali anjing buru.” HR. An-Nasa’i.

8. Berdagang Alat-alat Musik dan Hiburan

Sudah jelas, bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu, tentu Allah juga mengharamkan menjualnya dan memperdagangkannya. Dengan alasan itu, mayoritas ulama mengharamkan berjualan alat-alat musik dan hiburan yang diharamkan, kecuali yang boleh digunakan (duff/rebana). Bahkan mereka secara tegas menyatakan bahwa jual beli barang-barang semacam itu tidak sah.

9. Berjualan Ketika Dikumandangkan Adzan Jum’at

Di antara fenomena yang tidak lepas dari pandangan mata di tengah masyarakat barat adalah tersebarnya satu bentuk fenomena, yakni jual beli saat dikumandangkannya adzan Jum’at. Padahal sudah ada larangan tegas terhadap perbuatan itu dalam Kitabulla, yakni dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada meng-ingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui…” (Al-Jum’ah: 9).

Para ulama tidak berbeda pendapat sedikitpun, bahwa jual beli pada saat itu diharamkan, berdasarkan dalil ini.

Adzan yang dimaksud di sini adalah adzan yang dikumandangkan ketika khatib sudah naik mimbar (setelah khatib mengucapkan salam. Red) . Yakni adzan yang biasa dilakukan pada zaman Nabi. Itulah arti dari adzan atau panggilan bila disebutkan secara lepas. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari as-Saib bin Yazid bahwa ia menceritakan, “Dahulu adzan Jum’at dikumandangkan ketika khatib sudah duduk di atas mimbar, yakni pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Di masa Utsman, karena umat Islam sudah terlalu banyak, maka ditambah satu adzan lagi yang dikumandangkan di az-Zura.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab ash-Shalah, bab: Adzan di Hari Jum’at, nomor 912.

Dari sisi lain, sesungguhnya jual beli pada saat adzan diku-mandangkan ini menyebabkan seseorang melalaikan shalat, akhir-nya meninggalkan sebagiannya atau bahkan seluruhnya.

F.     JUAL BELI YANG DIPERDEBATKAN

Pertama : Penjualan Kredit Dengan Tambahan Harga

Jual beli kredit itu hanyalah salah satu bentuk dari jual beli nasi’ah (berhutang terlebih dahulu). Pembayaran tertunda itu sendiri terkadang dibayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus. Terkadang di-bayar dengan cicilan, yakni dibayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu. Jual beli inilah yang disebut jual beli taqsit atau kredit.

Para ulama telah bersepakat tentang dibolehkannya jual beli nasiah karena banyaknya hadits-hadits yang tegas yang diriwayatkan tentang jual beli itu. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta para perawi lainnya “bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan”. HR. al-Bukhari Muslim.

Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga dibolehkan jual beli secara kredit. Karena jual beli kredit tidak lain adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, hanya pembayarannya yang dicicil selama beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu. Tidak ada perbedaan dalam hukum syariat terhadap jual beli dengan pembayaran tertunda dalam satu waktu atau pada beberapa waktu berbeda.

Akan tetapi terkadang ter-jadi hal yang kontroversial dalam jual beli semacam ini, yakni bertambahnya harga dengan ganti tenggang waktu.

Kedua : Jual Beli ‘Inah

‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Dikatakan misalnya: si Fulan melakukan “ain, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran tertunda atau berhutang. Atau menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya lagi dengan harga lebih murah dari harga penjualan. Jual beli ini disebut ‘inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah “ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki “ain (benda) yang dia jual.

Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.

Para ulama sependapat bahwa jual beli ‘inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua ke dalamnya. Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya.

Ketiga: Jual Beli Wafa

Yakni jual beli dengan persyaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni kapan penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari pembeli untuk melunasi hak si penjual, yakni me-ngembalikan barangnya, kalau si pembeli mengembalikan uang bayarannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa ini.

* Ada di antara ulama yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.

* Di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku di dalamnya.

* Di antara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan.

* Ada juga di antara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena dibutuhkan.

Keempat: Jual Beli dengan Sistem Panjar/Uang Muka

Panjar (DP) dalam bahasa Arab adalah ‘Urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, Urbaan (الأربان), ‘Urbaan (العربان) dan Urbuun [الأربون). Al Mughni Ibnu Qudamah 6/331.

Secara bahasa artinya yang jadi transaksi dalam jual beli. Lihat Al Qaamus Al Muhith Karya Al Fairuzabadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568

Berkata penulis kitab Al Mishbah Al Munier (hal. 401),

“Al Arabun dengan difathahkan huruf ‘Ain dan Ra’nya. Sebagian ulama menyatakan, yaitu seorang membeli sesuatu atau menyewa sesuatu dan memberikan sebagian pembayarannya atau uang sewanya kemudian menyatakan, ‘Apabila transaksi sempurna maka kita hitung ini sebagai pembayaran dan bila tidak maka itu untukmu dan aku tidak meminta kembali darimu.’  Dikatakan Al ‘Urbun dengan wazan ‘Ushfur dan Al ‘Urbaan dengan huruf nun asli.

Al Ashma’i menyatkan, Al-’Urbun adalah kata ajam (non arab) yang diarabkan. Lisanul Arab 1/592 dan Al Nihayah fi Ghoribil Hadits 3/202.

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

1. Jual Beli Dengan Uang Muka (Panjar) Ini Tidak Sah.

Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Al Khothobi menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.” Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud, sunan Abu Daud 3/768.

2. Jual Beli Ini Diperbolehkan.

Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah dan diriwayatkan kebolehan jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin. Al Mughni 6/331

Al Khothobi menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar. Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan, “Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini adalah pendapat Umar, yaitu tentang kebolehannya”. Ahmad pun melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual beli ini, Karena terputus. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud yang dicetak pada footnote Sunan Abu Daud 3/768.

Kelima: Jual Beli Istijrar

Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret.

Secara terminologis ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu membayarnya sesudah itu.

Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai waktu penghitungannya. Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah,sehingga termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang me-netapkan disyariatkannya jual beli tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang menjadi perdebatan di antara para ulama.

G.    KEUNTUNGAN DALAM JUAL BELI

Menurut imam mazhab yang empat keuntungan dalam transaksi jual beli tidaklah memiliki batasan tertentu, maka seorang padagang boleh mendapatkan keuntungan seberapa pun besarnya, asalkan memenuhi dua kriteria:

Pertama, keuntungan tersebut tidaklah didapatkan karena ‘menimbun’, yaitu seorang pedagang menimbun produk yang menjadi hajat kebutuhan masyarakat banyak, lalu dia jual kembali setelah harga mahal.

Perbuatan ini terlarang mengingat sebuah hadis yang ada dalam Shahih Muslim dari Ma’mar bin Abdillah, Dari Sa’id bin Musayyib beliau menceritakan Rosululloh Shallollohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa.” Dan pada lafadz yang lain (Nabi) bersabda: “Tidaklah seorang menimbun kecuali dia berdosa.” (HR. Muslim)

Dari Abu Huroirah Radhiallohu ‘anhu berkata, Rosululloh Shallollohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa.” (HR. Ahmad)

Kedua, tidak ada ghaban (selisih harga yang parah jika dibandingkan dengan harga normal). Yang dimaksud dengan ghaban dalam masalah ini sebagaimana pendapat Malikiyah dan Hanabilah adalah sebagai berikut:

Jika di pasaran sudah ada harga standar untuk suatu produk tertentu, lalu ada pedagang yang menjual produk tersebut dengan harga yang lebih tinggi dengan kenaikan harga sebanyak sepertiga dari harga seharusnya untuk produk tersebut, maka manakala seorang pembeli mengetahui bahwa harga pembelian produk tersebut kemahalan, dia memiliki hak khiyar, hak melanjutkan atau membatalkan transaksi. Sedangkan pedagang yang melakukannya tergolong berdosa.

Lain halnya untuk produk yang tidak memiliki patokan harga tertentu, maka menjual dengan harga yang jauh lebih mahal hukumnya boleh.

H.    JUAL BELI DENGAN NON MUSLIM

Menjual barang kepada non muslim atau membeli barang yang dijual oleh non muslim pada dasarnya dibolehkan, dasarnya adalah Alquran, hadis, dan kesepakatan ulama.

Al-Quran : “Dan sembelihan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) itu halal bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 5).

Hadits : Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai dan beliau serahkan kepada orang Yahudi tersebut baju besi beliau sebagai jaminan.” HR. Bukhari dan Muslim

Dari Anas radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan baju besi beliau untuk membeli gandum kasar secara tidak tunai.” HR. Bukhari.

Ketika itu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhutang gandum saja kepada shahabat yang kaya namun malah memilih bertransaksi dengan orang Yahudi? Ada beberapa jawaban untuk menjawab pertanyaan ini:

  1. Nabi ingin menjelaskan kepada umatnya mengenai boleh bertransaksi jual beli dengan Yahudi dan itu bukanlah termasuk loyal kepada orang kafir.
  2. Atau ketika itu tidak ada shahabat yang memiliki bahan makanan yang berlebih.
  3. Atau Nabi khawatir jika beliau berhutang gandum dengan para shahabat, mereka lantas tidak mau dibayari, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin menyusahkan mereka.

Dari Abdurrahman bin Abu Bakar radhiallahu ‘anhu beliau bercerita ketika kami sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Datanglah seorang laki-laki musyrik yang postur tinggi badannya di atas rata-rata sambil menggiring kambing-kambingnya.

Lantas Nabi bertanya kepadanya, “Apakah kambing kambing ini mau dijual ataukah dihibahkan?” Dia menjawab, “Dijual”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli seekor kambing darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

An Nawawi mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bolehnya bermuamalah (jual beli, sewa, dll.) dengan non muslim(Syarh Nawawi untuk Shahih Muslim, 10:218).

Jadi dibolehkan bermuamalah dengan non muslim selama barang yang menjadi objek transaksi bukanlah barang yang haram dan barang tersebut bukanlah barang yang akan digunakan non muslim tersebut untuk memerangi kaum muslimin. Sehingga rusaknya akidah dan keyakinan mereka serta jeleknya transaksi yang mereka lakukan dengan sesama mereka tidaklah kita pertimbangkan dalam hal ini.

 

Demikian tulisan singkat tentang jual beli. Tambah informasi anda melalui link yang menjadi refensi penulis dalam tulisan ini, yang penulis tampilkan di link referensi … wallahu`alam bishawab

2 pemikiran pada “Konsep Jual Beli (Murabahah)

Tinggalkan komentar